2. Hukum dan Kekuasaan

Hukum berasal dari negara dalam arti hukum berasal dari negara yang berkuasa dalam negara, yaitu pemerintah. Pemerintah mengatur kehidupan masyarakat melalui politiknya. Karenanya pemerintah melalui politiknya menjadi sumber hukum  (Teo Hujibers, 1990 : 113).

Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum berfungsi untuk menjamin keterpaduan sosial dan perubahan tertib sosial dengan cara menyeimbangkan konflik kepentingan individual, sosial, dan publik. Untuk menyeimbangkan kepentingan dalam masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakikat kepada keadilan dan kekuatan moral (Muhamad Erwin, 2012 : 237-238).

Untuk menjamin dilaksanakannya fungsi hukum dengan baik maka diperlukan suatu kekuasaan. Kekuasaan dalam hal penerapan kebijakan hukum seingkali dikaitkan dengan politik (policy = kebijakan). Bila konsep tersebut dihubungkan dengan konsep politik, maka kekuasaan merupakan tujuan dari politik. Kekuasaan disini artinya kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar pihak tersebut memenuhi keinginan yang

berkuasa (ibid : 279).

Kekuasaan ini kemudian digunakan untuk mencapai esensi utama dalam hukum yaitu keadilan. Dalam pandangan aliran postivisme (hukum positif), kekuasaan digunakan untuk memonopoli  tujuan dari pada hukum dengan instrumen sanksi. Sanksi digunakan oleh penguasa kepada para pembangkang untuk menentukan hukum, serta adil dan ketidak adilan. Plato dalam ajarannya menjelaskan bahwa kekuasaan dalam realitasnya digunakan sebagai alat untuk menguasai orang lain tanpa landasan kemanusiaan ataupun keadilan (ibid : 280).

Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dipandang dari dua sisi (Abdul Ghofur Anshori, 2006 : 148, lihat juga Theo Huijbers 1995 :114-115) yaitu  :

Hukum tidak sama dengan kekuasaan, dengan alasan :

Hukum kehilangan artinya jika disamakan dengan kekuasaan karena hukum bermaksud menciptakan suatu masyarakat yang adil. Tujuan ini hanya tercapai jika pemerintah juga adil dan tidak semena-mena dengan kekuasaannya.

Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individual terhadap kebebasan individual yang lain, melainkan juga kebebasan (wewenang) dari yang berkuasa dalam negara.

Hukum tidak melawan pemerintah negara, sebaliknya

pemerintah membutuhkannya guna mengatur hidup bersama. Yang dilawan adalah kesewenang-wenangan individual, dengan alasan :

Dalam masyarakat luas, konflik hanya dapat diatasi oleh entitas yang berada diatas kepentingan-kepentingan individu, yaitu pemerintah.

Keamanan dalam hidup bersama hanya terjamin bila ada pemerintah sebagai petugas tertib negara.

Penganut positivisme hukum menegaskan bahwa suatu aturan hukum yang tidak didukung oleh suatu kekuasaan, cepat atau lambat  akan lumpuh dan kehilangan kewibawaannya. Hal ini berarti bahwa kaitan antara hukum dan kekuasaan sangat erat (Theo Hujibers, 1990 : 113).  Dalam positivisme hukum, norma hukum alam primer dicoba dalam bentuk yang lebih konkret. Pengejawantahan hukum dan keadilan itu ditetapkan ke dalam norma hukum positif yang diprcayakan kepada penguasa. Hukum positif kadang-kadang menghambat perkembangan hidup dan sangat merugikan keadilan (Darji Darmodiharjo dan Sidarta, 1995 : 140).

Hukum salah satu fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan. Menurut Thomas Hobbes, hukum mempunyai kekuasaan untuk melindungi atau menyelamatkan nyawa dan

kepentingan-kepentingan (Hyronimus Rithi, 2011 : 359).  Hobbes merupkan salah satu tokoh penggagas teori trias politica. Teori ini yang kemudian melahirkan teori kedaulatan negara.

Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes berpendapat bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Pemikiran ini kemudian menjadi dasar dibuatnya teori perjanjian sosial (du contract social). Dalam perjanjian ini masyarakat harus menyerahkan seluruh kekuasaan (hak) alamiah mereka kepada negara. Teori perjanjian sosial ini kemudian melahirkan kedaulatan negara (Dominikus Rato, 2010 : 272-273).

Teori hukum adalah ilmu, dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada.

Ilmu hukum adalah normatif, dan bukan ilmu alam.

Teori hukum sebagai suatu teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum.

Suatu teori tentang hukum sifatnya murni tentang cara pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola spesifik.

Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adaah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Hukum positif yang sifatnya kaku hanya berpihak kepada penguasa sebagai pemegang kendali suatu negara. Hukum positif menurut Hart Lon Fuller menjelaskan bahwa esensi hukum terletak pada penggunaan kekuasaan pada unsur paksaan. Selain itu John Austin sebagai positivis utama mempertahankan satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi (Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim, 154-155).

Menurut Austin hukum adalah perintah kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Berdasarkan hal tersebut maka hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk serta didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi (ibid).

Ketika hukum dipositifkan dalam bentuk undang-undang, maka hukum itu menjadi terbatas dan kemudian tertinggal oleh dinamika perubahan masyarakat. Untuk mengantisipasi hal itu diperlukan cara-cara yang dapat menjadikan hukum positif ini tetap bertahan agar mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Hukum dalam arti normatif hanya berada dalam kawasan dunia sollen. Sehingga keadilan yang diciptakan hukum dalam bentuk undang-undang hanya bersifat sollen. Jika hukum diterapkan secara tepat baik dari segi etika, moral dan nilai, maka hukum itu baik adanya. Dalam kenyataannya di masyarakat,

hukum tidak lebih sebagai alat penindas dan alat penguasa untuk melegalkan kekuasaannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Habermas yang menyatakan bahwa ideologi positivisme pada taraf tertentu memang membantu umat manusia untuk mencapai kedewasaannya. Akan tetapi, hal tersebut jadi membahayakan ketika positvisme mendominasi segenap kehidupan di bawah rasionalitas teknologis yang tidak mau mengakui keterkaitan teori dan praktis. Akibatnya masyarakat dan kebudayaan terancam perpecahan, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok yaitu kaum rekayasawan sosial dan penghuni institusi penindas

Leave a comment